Percetakan - Distributor - Agency - Buku Islam - Sepatu Cibaduyut - Rokok Herbal - Sabun Sirih Terapi Kesehatan Herbal - Aquarium - Marketing Penerbit Ash-Shiddiq Press - Bisnis Ekonomi Islam - Menjalin Kerjasama Bisnis Peminat Serius Kontak e-mail: iipguru@yahoo.com atau Chatting di My Facebook atau Tinggalkan Pesan di Box IKLAN/ORDER BISNIS

KERJA SAMA BISNIS

ASHTRO BISNIS melayani kerjasama saling menguntungkan dengan cara-cara sesuai dengan Syari'at Islam.
Informasi : 081 22 100 2536

@SHTRO ROKOK HERBAL

MARKETING BANDUNG

Selasa, Agustus 04, 2009

ZAKAT PERDAGANGAN

Permasalahan zakat sudah banyak disinggung dalam buku dan kitab fiqh Islam. Urgensi dan keutamaannya-pun sudah banyak diketahui kaum muslimin. Sangat disayangkan sosialisasi pada tataran teknis banyak umat islam yang belum mengetahui secara rinci bagaimana pola Rasulullah SAW dan para shahabatnya menangani perzakatan ini. Ironisnya lagi, tidak sedikit kaum muslimin yang mengelak dari kewajiban menunaikan zakat. Padahal para penolak zakat sangat dikecam sebagaimana pada masa Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq mereka dipandang sebagai pemberontak (bughat) yang harus diperangi. Mengapa Abu Bakar sangat tegas dalam pelaksanaan syari’at zakat ini ? Karena kewajiban zakat dalam Islam setara dengan kewajiban shalat. Tapi mengapa ketika kita menyaksikan orang yang sudah terkena kewajiban zakat tidak berzakat dibiarkan begitu saja, tidak seperti ketika kita melihat yang meninggalkan shalat ?! Maka risalah ringkas ini setidaknya menjadi bahan renungan sesama muslim dalam hukum zakat barang perdagangan, agar harta keuntungan umat Islam semakin berkah dan mendatangkan kesejahteraan lahir dan bathin.

Hukum Perdagangan dalam Perundang-undangan
Hukum dagang dalam fiqh Islam termasuk dalam mu’amalah maliyah atau hukum yang mengatur hubungan manusia dalam masalah harta dan kekayaan.
Hukum dagang dalam perundang-undangan umum modern adalah bagian dari hukum privat, atau merupakan jenis khusus dari hukum perdata. (Kode Etik Dagang menurut Islam, 18-20)
Pada masa Rasulullah SAW dan Khulafaurrasyidun diantaranya Khalifah Umar Bin Khattab, undang-undang perniagaan diatur berdasarkan syari’at Islam dan para qadli yang diangkat di setiap daerah mempunyai kewenangan menerapkan dan mengawasi jalannya undang-undang perniagaan tersebut. Khalifah Umar disamping menjadi kepala Negara juga bertanggung jawab penuh atas terlaksananya syari’at Islam pada tataran masyarakat bawah diantaranya dengan selalu memantau pola kehidupan masyarakat termasuk dalam masalah perniagaan. Kisah yang paling popular ialah ketika beliau berkeliling ke pelosok negeri dan bertemu dengan gadis penjual susu yang jujur dan tidak mau mencampurnya dengan air agar mendapat keuntungan lebih dengan cara yang bertentangan dengan syari’at Islam. Dalam sebuah hadits-pun disebutkan; Dari Jiyad bin Hudair ra berkata : “Umar mempekerjakanku atas sepersepuluh. Dan memerintahkanku agar aku mengambil dari pedagang-pedagang muslim dua setengah persen.” (HR. Abu Ubaid al-Qasimy Ibnu Salam dari Kitabul Amwal:640)
Dikisahkan bahwa Rasulullah SAW pernah mengirim petugas pemungut zakat kepada Khalid Bin Walid yang pernah berdagang perkakas perang. Khalid tidak mengeluarkan zakatnya, sehingga pemungut zakat tadi mengadu kepada Rasulullah SAW, maka beliau bersabda: “…Adapun Khalid, kalian telah menganiayanya. Sesungguhnya ia telah mewaqafkan baju-baju besinya dan peralatan perangnya di jalan Allah.” (HSR. Muslim)
Hadits ini menunjukkan bahwa masalah peniagaan dan segala hal yang berhubungan dengan ibadah mu’amalah termasuk juga masalah pengelolaan zakat ditangani oleh Negara dan institusi kenegaraan. Namun tidak berarti ketika Negara tidak menangani perzakatan ini, kewajiban zakat tijaroh terhapus dan tidak dilaksanakan. Karena sebagaimana sebelumnya disinggung bahwa hukum perdagangan termasuk hukum perdata yang setingkat dengan hukum waris, nikah dan sejenisnya, maka selayaknya umat Islam tetap memperhatikan hukum perdagangan sesuai dengan syari’at Islam sambil tetap mengupayakan agar hukum Islam menyangkut perdagangan dan perzakatan masuk pada perundang-undangan Negara. Karena hanya dengan syari’at Islam, harta umat Islam menjadi berkah dan menjadi kebajikan.

Makna Tijaroh (Perdagangan)
Tijaroh sebagaimana yang telah didefinisikan oleh pada fuqaha ialah pengusahaan harta benda dengan penggantian harta benda yang lain. (Raddul Mukhtar, 18:2)
Barang tijaroh ialah apa yang disiapkan untuk usaha dengan jalan jual beli.
Sebagian mendefinisikan : apa yang disiapkan untuk jual beli dengan tujuan mendapat keuntungan. (Mathalib Ulin Nahyi, 96:2)
Suatu barang milik dikatagorikan sebagai tijaroh jika terdapat dua unsur yang tidak terpisah
1. terjadi transaksi jual beli
2. niat untuk mendapatkan keuntungan

Barang yang wajib zakat tijaroh
1. MA NU’IDDU LIL BAI’ : apapun yang disiapkan untuk dijual
2. AL-BAZZU : jenis kain (pakaian), perlengkapan rumah seperti pakaian, furniture, peralatan dan sebagainya.

Dalil-dalil tentang tijaroh
1. “Apabila telah selesai shalat, maka hendaklah kalian bertebaran di muka bumi dan carilah karunia Allah, dan sebutlah Allah sebanyak-banyaknya supaya kalian memperoleh keberuntungan. (QS. 62:10)
2. “Sesungguhnya Kami telah menempatkan kalian di bumi, dan Kami adakan bagi kalian di atasnya (sumber-sumber) penghidupan. (QS.7:10)
3. “Saling tolong menolonglah kalian dalam kebaikan dan taqwa, dan janganlah kalian saling menolong dalam perbuatan dosa dsan permusuhan.” (QS. 5:2)
4. Rasulullah SAW bersabda : “ “Sesungguhnya Allah suka melihat hamba-Nya berusaha dalam mencari yang halal.” (HR. Ath-Thabrany dan Dailami dari Ali Bin Abi Thalib)
5. Diriwayatkan bahwa Umar bin Khattab setelah selesai shalat menjumpai sekelompok orang yang larut dan duduk bertafakur di dalam masjid dengan alas an tawakkal kepada Allah, sertamerta beliau memperingatkan : “Janganlah sekali-kali di antara kalian ada yang duduk-duduk enggan mencari rizki dan (hanya) berdo’a: Ya Allah limpahkanlah rizki kepadaku!” Padahal ia telah mengetahui bahwa langit tidak menurunkan hujan emas dan perak.

Kewajiban zakat tijaroh
1. QS. Al-Baqarah :

Mujahid berkata : “ayat ini turun berkenaan dengan tijaroh (perdagangan).
2. Dari Samrah Bin Jundab ra berkata : “Adalah Rasulullah SAW memerintahkan kami untuk mengeluarkan shadaqah (zakat) dari sesuatu yang kami persiapkan untuk dijual.” HR. Abu Dawud, pada sanadnya lemah karena ada rawi Salman Bin Samrah majhul. Ad-Daruquthny dan al-Bazzar juga meriwayatkan hadits ini. Ibnu Abdil Bar memandang hasan sebagaimana dalam Nasburrayah, 2:376)
3. Rasulullah SAW bersabda: “dalam unta ada zakatnya, dalam sapi ada zakatnya, dalam pakaian ada zakatnya.” (HR. Al-Hakim. Ad-Daruquthny dan al-Baihaqy menganggap kuat)

Ibnu Al-Mundzir berkata : “Telah ijma’ tentang kewajiban zakat pada barang dagangan.” Fuqaha yang tujuh telah berpendapat tentang kewajibannya walaupun mereka menyatakan jangan mengkafirkan orang yang mengingkarinya, karena ada perbedaan pendapat tentang hal itu. (Subulussalam II:136)

Adakah Nishab & Haul pada zakat tijaroh ?
Nishab adalah batas minimal harta benda atau nilai untuk dikeluarkan zakatnya.
Haul ialah harta benda atau nilai yang telah dimiliki selama satu tahun Qamariyah.
Berdasarkan hadits hadits di atas, pada zakat tijaroh nishabnya ialah MAA NU’IDDU LIL BAI’ artinya apapun dan atau berapapun nilai barangnya yang dipersiapkan untuk dijual, terkena kewajiban zakat tijaroh.
Adapun tentang haul, karena nishabnya muthlaq (tidak terikat) maka sebelum atau sesudah haulpun boleh dilakukan perhitungan zakatnya. Namun bagi para pedagang untuk mempermudah pembukuan biasanya menggunakan haul ini. Kedua cara tersebut pernah terjadi sebagaimana hadits di bawah ini :
Rasulullah SAW bersabda : Tidak ada (kewajiban) zakat harta sehingga sampai haul (satu tahun Qamariyah)
Telah berkata Ali : “Sesungguhnya Abbas bin Abdul Muthalib telah meminta kepada Nabi SAW untuk mengeluarkan zakatnya sebelum sampai waktunya, maka Nabi SAW mengizinkan hal itu.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, At-Tirmidzi, Ibnu Majah dan yang lainnya) Diriwayatkan oleh Abu Dawud Ath-Thayalisy dari Abi Rafi’ bahwa Rasulullah SAW pernah meminjam dari Abbas zakat setahun di muka. Diriwayatkan oleh Ath-Thabrany dan Al-BAzzar dari Ibnu Mas’ud, bahwa Rasulullah SAW pernah meminjam dari Abbas zakat tahun yang dulu dan tahun ini.”

Besarnya zakat tijaroh
Hadits yang menyebutkan dengan sharih (jelas) kadar besarnya zakat tijaroh tidak ada. Khalifah Umar bin Khattab dan Khalifah Umar Bin Abdul Aziz menerapkan ketentuan 2,5 % untuk zakat tijaroh ini. Karenanya kita berpedoman kepada atsar Khulafaurrasyidun dalam ketentuan besarnya kewajiban zakat tijaroh ini.

Mustahiq Zakat Tijaroh
Mustahiq zakat tijaroh adalah 8 ashnaf yang tercantum dalam QS. At-Taubah : 60. Adapun prioritas mustahiq ialah karib kerabat atau keluarga terdekat si muzakki berdasarkan al-Qur’an dan hadits

Teknis penghitungan zakat tijaroh
1. Anggaran zakat di muka (sebelum haul atau pada haul)
Pada bulan Ramadhan 1420 H, seorang pedagang buah-buahan memulai usaha dengan membeli peralatan yang mendukung usahanya seperti gerobak seharga Rp. 500.000,-, biaya iklan dan publikasi perusahaannya Rp. 100.000,- dan biaya operasional (transportasi, kantong/pengemasan, dll.) Rp. 200.000,-. Kemudian membeli buah-buahan dari glosir perkilo seharga Rp. 10.000,- sebanyak 100 kg. dengan harga Rp. 1.000.000,-. Seminggu kemudian ia berbelanja lagi sebanyak 100 kg. = Rp. 1.000.000,- dengan menggunakan uang hasil penjualan Rp. 500.000,- dan tambahan pinjaman modal Rp. 500.000,-. Biaya transport Rp. 100.000,-. Bulan berikutnya ia mulai menghitung zakatnya sebagai kewajiban seorang muslim. Maka cara perhitungannya sebagai berikut :
a. Modal
Modal keseluruhan terdiri dari
- Pembelian gerobak Rp. 500.000,-
- Biaya iklan Rp. 100.000,-
- Biaya operasional Rp. 200.000,-
- Pembelian buah-buahan I Rp. 1.000.000,-
- Pembelian buah-buahan II Rp. 1.000.000,-
- Transport II Rp. 100.000,-
Jumlah : Rp. 2.900.000,-
Berdasarkan hadits MA NU’IDDU LIL BAI’ maka yang termasuk modal yang wajib dikeluarkan zakatnya ialah jenis barang yang dijual yaitu buah-buahan dan kemasannya serta biaya yang berhubungan langsung dengan proses sampai siap jualnya barang tersebut. Maka yang temasuk modal hanya :
- Biaya iklan Rp. 100.000,-
- Biaya operasional Rp. 200.000,-
- Pembelian buah-buahan I Rp. 1.000.000,-
- Pembelian buah-buahan II Rp. 1.000.000,-
- Transport II Rp. 100.000,-
Jumlah : Rp. 2.400.000,-
Sehingga kewajiban zakat tijarohnya adalah 2,5 % dari Rp. 2.400.000,- = Rp. 60.000,-
Biaya pembelian gerobak tidak termasuk pada perhitungan modal yang terkena zakat tijaroh karena ia tidak dijual, sama dengan nilai sewa tempat, sukatan dan fasilitas yang tetap. Namun tetap ia terkena kewajiban zakat mal (zakat harta simpanan) jika sudah nishab yang sudah ada ketentuannya. Harus dibedakan antara gerobak dengan sewa gerobak. Jika sewa gerobak maka itu termasuk biaya operasional dan dimasukkan sebagai modal yang harus dizakati.
Jika ia akan menjual gerobaknya, maka zakat tijarohnya dilaksanakan setelah gerobak itu terjual dengan perhitungan modal dari standar harga gerobak bekas yang sejenis.
Adapun perhitungan dengan haul sama saja, hanya waktu perhitungannya dilakukan pada akhir tahun yaitu pada contoh ini pada Ramadhan 1421 H. Karenanya pedagang yang akan memakai metoda haul ini harus mencatat segala modal yang telah disiapkan untuk dijual sejak ia memulai usahanya.
2. Zakat tijaroh dari barang pribadi yang kemudian dijual
Misalnya, pada bulan Ramadhan 1420 H seseorang membeli mobil dengan niat untuk dipakai seharga Rp. 100.000.000,-. Setelah enam bulan mobil tersebut dijual seharga 90.000.000,- Maka, ia wajib mengeluarkan zakat tijarohnya 2,5 % dari standar harga barang second (bekas) atau dari total harganya, karena sudah termasuk MAA NU’IDDU LIL BAI’ yaitu ketika ia berniat menjualnya dan setelah terjadi transaksi.
Ada yang berpendapat bahwa yang wajib zakat tijaroh itu adalah pedagang sebagai profesinya, maka jika yang bukan pedagang tidak terkena kewajiban zakat tijaroh.
Hal ini telah menjadi perbincangan para ulama dan hal ini berkaitan dengan niat menjual. Makna MA NU’IDDU LIL BAI’ diartikan sebagai ia membeli dengan niat untuk dijual. Padahal dalam hadits ini tidak disinggung sumber atau cara kepemilikan barang untuk dijual tersebut. Salah satu bantahan pada mereka yang berpandangan seperti ini ialah:
- Asal harta milik adalah barang qaniyyah (untuk digunakan) bukan tijaroh (untuk perdagangan). Tijaroh adalah far’u (cabang). Sebagaimana muqim adalah asal dan safar adalah far’u. Ketika ia berniat untuk safar, ia tetap dipandang muqim sampai ia berangkat, baru dipandang safar. Maka barang yang niatnya sebagai qaniyah tidak dipandang sebagai tijaroh sampai terjadi penjualan (transaksi). Demikian pula, jika niatnya untuk dijual namun kemudian dipakai atau tidak dijual, maka tidak termasuk tijaroh.
Adapun jika melibatkan seorang simsar (calo) dalam penjualannya, maka kalau harganya sesuai dengan permintaan si pemilik, ia tidak terkena kewajiban zakat tijaroh. Namun jika simsar tersebut menentukan harga, misalnya si pemilik berkata : “Juallah mobil ini berapapun harganya, harga dari saya sekian…” Maka ia terkena kewajiban zakat tijaroh dengan perhitungan jumlah modal yang ditentukan oleh si pemilik. Karena hakekatnya ia telah membeli mobil tersebut dengan pembayaran ditangguhkan.

Penjualan yang keuntungannya kurang dari 2,5 %,
Wajibkan zakat ?
Kewajiban zakat bukan dilihat dari hasil keuntungannya, tetapi dari modal barang yang siap jual. Maka, penjual barang tetap terkena kewajiban zakat walaupun keuntungannya kurang dari 2,5 %, karena yang dikeluarkan untuk zakat tersebut sesungguhnya sudah ada dalam nilai modal yang dimiliki. Misalnya seorang pedagang beras bermodalkan Rp. 100.000,- dengan keuntungan (biasanya 1%) Rp. 1.000,- sedangkan zakat yang harus dikeluarkan Rp. 2.500,-. Memang jika dihitung dari keuntungan berarti kerugiannya Rp. 1.500,-, tapi jika dihitung dari modal, keuntungannya tetap Rp. 1.000,- dan tidak ada kerugian, karena ketika seorang muslim melaksanakan infaq shadaqah dan zakat, hakekatnya ia bukan mengurangi hartanya, tetapi justeru bertambah dan berkembang, baik materi maupun nilai keberkahannya.

PRINSIP-PRINSIP EKONOMI ISLAM














PRINSIP-PRINSIP EKONOMI ISLAM

A. RIZQI, ANTARA RAHMAT & LAKNAT

“Dan Dialah yang telah menjadikan bumi itu mudah bagi kalian. Maka berjalan dan berusahalah di segala penjurunya dan makanlah dari sebagian rizqi-Nya, dan kepada-Nya lah kalian dibangkitkan.” (QS. Al-Mulk/67:15)

***

Manusia, apapun statusnya, tetap membutuhkan pelengkap kehidupannya, terutama kebutuhan biologis seperti sandang, pangan, papan dan pasangan. Selama hidupnya di dunia ini, seluruh kebutuhan tersebut menghiasinya dan menjadi sarana untuk meraih kebahagiaan serta kesenangan. Karenanya, Allah SWT dalam ayat di atas menyatakan bahwa bumi dan isinya diciptakan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia serta seluruh makhluk-Nya. Keseimbangan alam inilah yang akan mampu menjaga kelangsungan hidup manusia di dunia, yaitu dengan cara menjalani kehidupan yang baik dan berusaha atau berikhtiar mencari setiap rizqi yang bertebaran di setiap pelosok bumi. Ayat ini juga sebagai penjelasan bahwa ikhtiar merupakan titah Allah SWT kepada seluruh hamba-Nya dan Dia membenci orang yang tidak berusaha dengan menyalah artikan makna taqdir Allah SWT (Fatalisme).

Namun, dengan tegas ayat di atas juga mengingatkan manusia pencari rizqi akan Hari Kebangkitan yang pasti akan terjadi dan dialami setiap orang. Artinya, dunia dan seisinya merupakan kehidupan sementara yang harus benar-benar dimanfaatkan untuk mencapai kebahagiaan abadi di Akhirat kelak. Firman Allah SWT: “Kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah permainan dan penghibur (sementara), sedang tempat di Akhirat itulah hidup yang sebenarnya, andai mereka mengetahui.” (QS. Al-Ankabut:64)

Dalam memahami ayat ini bukannya Allah melarang manusia memiliki dunia dan seisinya, tetapi orientasinya lah yang harus diluruskan yaitu untuk mencapai keridhaan Allah SWT di Akhirat kelak. Sebab harta, dunia, anak dan keturunan tidak bisa lepas dari setiap manusia, sebagaimana firman Allah SWT: “Harta dan putera-putera itu sebagai hiasan hidup di dunia. Sedang amal kebaikan yang kekal di sisi Tuhanmu lebih baik pahala dan harapannya.” (QS. Al-Kahfi:46)

Firman Allah ini mengisyaratkan akan pentingnya manusia berusaha menjadikan harta dan anak keturunan sebagai amal shalih bekal di Akhirat kelak. Inilah yang dimaksudkan dalam judul tulisan ini, rizqi bisa menjadi rahmat, bila digunakan dalam keshalihan, tetapi rizqi juga bisa berubah menjadi laknat, jika manusia lalai dari orientasi Akhirat dan amal shalih. (QS. 102:1-8)

Allah SWT tidak hanya memberi rizki kepada manusia, namun seluruh makhluq yang da di muka bumi ini tidak luput dari rahmat-Nya, firman-Nya:

وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ إِلَّا عَلَى اللَّهِ رِزْقُهَا وَيَعْلَمُ مُسْتَقَرَّهَا وَمُسْتَوْدَعَهَا كُلٌّ فِي كِتَابٍ مُبِينٍ

Dan tidak ada suatu binatang melatapun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezkinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh). (QS. Hud:6)

Tidak hanya di bumi, Allah menjadikan langit sebagai fasilitas rizki dengan menurunkan hujan, sebgaimana dalam QS. Nuh:10-12:

فَقُلْتُ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ إِنَّهُ كَانَ غَفَّارًا(10)يُرْسِلِ السَّمَاءَ عَلَيْكُمْ مِدْرَارًا(11)وَيُمْدِدْكُمْ بِأَمْوَالٍ وَبَنِينَ وَيَجْعَلْ لَكُمْ جَنَّاتٍ وَيَجْعَلْ لَكُمْ أَنْهَارًا(12)

maka aku katakan kepada mereka: "Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, --sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun--, niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan membanyakkan harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula didalamnya) untukmu sungai-sungai.”

Rizqi sebagai Rahmat

Rizqi ialah sesuatu yang dapat diambil manfaatnya oleh makhluk hidup, baik berupa makanan, minuman, pakaian dan lain-lain. Adapun cara mendapatkan dan menggunakan rizqi, bisa dengan cara halal ataupun haram, misalnya riba, hasil curian, perjudian, penipuan, perampokan dan lain-lain. Karenanya Rasulullah SAW pernah mengingatkan tentang dua pertanyaan pada rizqi ini, sabdanya: “Setiap hamba akan ditanya pada hari qiamat tentang lima hal: 1) umurnya untuk apa dihabiskan, 2) masa mudanya dipakai apa, 3) hartanya dari mana didapatkan dan, 4) kemana digunakannya, 5) amalnya apa yang diperbuatnya.” (HR. At-Tirmidzi)

Untuk mengetahui apakah rizqi yang ada pada kita adalah termasuk rahmat atau laknat, dapat dilihat dari dua hal di atas, apakah cara mendapatkannya sesuai dengan syari’at Allah atau sebaliknya, apakah cara menggunakannya dibenarkan oleh agama atau tidak ?

Pertama-tama yang harus menjadi prinsip dasar mencari rizqi ialah bertujuan meraih ridla Allah SWT yaitu dengan taqwa dan semangat ibadah. Allah SWT berfirman dalam Hadits Qudsi kepada malaikat yang diserahi urusan rizqi Bani Adam, firman-Nya: “Hamba manapun yang kalian dapati cita-cita maupun tujuannya hanya satu (semata-mata untuk Akhirat), jaminlah rizqinya di langit dan bumi. Dan hamba manapun yang kalian dapati mencari rizqinya dengan jujur, berhati-hati untuk berbuat adil, berilah dia rizqi yang baik dan mudahkanlah baginya. Dan jika dia telah melampaui batas kepada selain itu, biarkanlah ia sendiri melakukan apa yang dikehendakinya. Dia tidak akan mencapai lebih dari apa yang telah Aku tetapkan untuknya.” (HQR. Abu Naim dari Abu Hurairah RA)

Firman Allah ini merupakan janji dari Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang bagi hamba-Nya yang berusaha dengan ikhlas. Akhlaq dalam mencari rizqi ini patut diperhatikan misalnya, jujur, adil, amanah, taqwa disamping juga tetap memperhatikan perintah Allah atau dzikrullah, sebagaimana firman Allah; “Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk melakukan dan menunaikan shalat pada hari Jum’at, bergegaslah kalian mengingat Allah dan tinggalkanlah perniagaan, yang demikian itu lebih baik bagi kalian jika kalian mengetahui. Apabila shalat telah ditunaikan, bertebaranlah kalian di muka bumi, dan carilah karunia Allah dan selalu ingat kepada Allah supaya kalian beruntung.” (QS. 62:9-10)

Ambisi memiliki harta memang selalu ada, maka selayaknya kita bersikap zuhud dan qana’ah dalam memandang harta, tidak rakus dan tamak. Sabda Rasulullah SAW; “Lihatlah orang yang di bawahmu dan janganlah melihat orang yang di atasmu. Karena yang demikian itu lebih baik, supaya kamu tidak meremehkan nikmat karunia Allah kepadamu.” (HR. Al-Bukhari & Muslim dari Abu Hurairah RA)

Kemudian rizqi yang telah kita miliki, dengan ikhlas kita infaqkan di jalan Allah SWT yaitu menggunakannya pada sesuatu yang diridlai oleh-Nya. Sebagaimana firman Allah SWT; “Hai orang-orang yang beriman, berinfaqlah kamu dari sebaik-baik apa yang kamu hasilkan dan dari apa yang Kami keluarkan untuk kamu dari bumi. Dan janganlah kamu memilih yang jelek untuk kamu infaqkan.” (QS. 2:267)

Rizqi sebagai Laknat

Tentu saja, rizqi yang didapat dari sumber yang haram dan digunakan di jalan maksiat kepada Allah SWT akan menjadi laknat bagi dirinya. Rizqi hasil dari riba, pencurian, perjudian, perampokan, korupsi, penipuan atau dengan cara zhalim lainnya, bahkan rizqi yang diragukan kehalalannya atau syubhat jangan sampai menjadi sumber penghasilan kita, karena itu semua akan menjadi api neraka kelak, sebagaimana firman Allah; “Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zhalim sebenarnya mereka itu menelan api neraka sepenuh perutnya dan mereka akan dilempar ke dalam api yang menyala-nyala.” (QS. 4:10)

Akhlaq yang jelek dalam mencari dan menggunakan harta harus dihindari seperti bakhil, kikir, israf, tabdzir, takatsur, bermegah-megahan dan cara-cara maksiat lainnya. Firman Allah SWT;

“Kecelakaan bagi setiap pengumpat lagi pencela, yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitungnya. Dia mengira bahwa hartanya itu dapat mengekalkannya, sekali-kali tidak ! Sesungguhnya dia benar-benar akan dilemparkan ke dalam Huthamah. Dan tahukah kamu apa Huthamah itu? Yaitu api yang disediakan Allah yang dinyalakan, yang membakar sampai ke hati. Sesungguhnya api itu ditutup rapat atas mereka, (sedang mereka itu) diikat pada tiang-tiang yang panjang.” (QS. 104:1-9)

Firman Allah yang senada, dengan keras mengecam orang yang menimbun hartanya tanpa mengindahkan kaum yang lemah. Firman Allah SWT;

”...dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkan (menggunakannya) pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapatkan) siksa yang pedih, pada hari dipanaskan emas dan perak itu dalam neraka Jahannam lalu dibakarkan pada dahi mereka, lambung dan punggung mereka, (lalu dikatakan) kepada mereka; “Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu.” (QS. At-Taubah:34:35)

Bahkan dalam sebuah Hadits Nabi SAW bersabda; “Demi Allah, bukanlah kefaqiran atau kemiskinan yang aku khawatirkan atas kalian, akan tetapi justeru aku khawatir (kalau-kalau) kemewahan dunia yang kalian dapatkan sebagaimana telah diberikan kepada orang-orang sebelum kalian, lalu kalian bergelimang dalam kemewahan itu sehingga binasa, sebagaimana mereka bergelimang dan binasa pula.” (HR. Al-Bukhari)

Hadits ini memberi pelajaran kepada kita bahwa kehancuran sebuah masyarakat bukan karena rakyat yang miskin, tetapi disebabkan penduduk negeri ini sudah terbuai oleh kemewahan dan materialistis yang berakibat rizqi tidak lagi berkah, malah menjadi laknat bagi seluruh masyarakatnya.

Maka, jika kita ingin mengentaskan kemiskinan yang sekarang ramai dibicarakan, sebenarnya harus diawali dengan, “memasyarakatkan pola hidup sederhana” bagi orang-orang yang hidup di atas garis kemewahan, bukan sebaliknya.

Dalam ayat berikut ini Allah SWT menyatakan bahwa dunia dan segala isinya merupakan ujian dan cobaan bagi setiap muslim. Firman-Nya; “Sesungguhnya Kami telah menjadikan apa yang ada di bumi itu sebagai perhiasan agar Kami menguji mereka, siapakah di antara mereka yang terbaik amal perbuatannya. Dan sesungguhnya Kami akan menjadikan (pula) apa yang ada di atasnya menjadi tanah rata dan tandus.” (QS. 18:7-8)

B. KETIKA KUFUR NIKMAT

Rizki yang Allah berikan lebih dari cukup untuk bekal kehidupan manusia di dunia. Ketika mendapatkan limpahan rizki tersebut tidak sedikit manusia yang lalai kepada Pemberi rizki tersebut. Mereka enggan mengeluarkan zakat, karena merasa hasil jerih payahnya sendiri. Padahal sifat kufur nikmat tadi justeru berakibat murka Allah. Firman-Nya mengingatkan manusia:

وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى ءَامَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَلَكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ

Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya. (QS. Al-A’raf:96)

وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْكِتَابِ ءَامَنُوا وَاتَّقَوْا لَكَفَّرْنَا عَنْهُمْ سَيِّئَاتِهِمْ وَلَأَدْخَلْنَاهُمْ جَنَّاتِ النَّعِيمِ(65)وَلَوْ أَنَّهُمْ أَقَامُوا التَّوْرَاةَ وَالْإِنْجِيلَ وَمَا أُنْزِلَ إِلَيْهِمْ مِنْ رَبِّهِمْ لَأَكَلُوا مِنْ فَوْقِهِمْ وَمِنْ تَحْتِ أَرْجُلِهِمْ مِنْهُمْ أُمَّةٌ مُقْتَصِدَةٌ وَكَثِيرٌ مِنْهُمْ سَاءَ مَا يَعْمَلُونَ

Dan sekiranya Ahli Kitab beriman dan bertakwa, tentulah Kami tutup (hapus) kesalahan-kesalahan mereka dan tentulah Kami masukkan mereka ke dalam surga yang penuh keni`matan. Dan sekiranya mereka sungguh-sungguh menjalankan (hukum) Taurat, Injil dan (Al Qur'an) yang diturunkan kepada mereka dari Tuhannya, niscaya mereka akan mendapat makanan dari atas mereka dan dari bawah kaki mereka. Di antara mereka ada golongan yang pertengahan. Dan alangkah buruknya apa yang dikerjakan oleh kebanyakan mereka. (QS. Al-Maidah:65-66)

Harapan dan do’a kita, mudah-mudahan Allah SWT menurunkan rizqi yang membawa rahmat dan memberkahi seluruh penduduk bumi dan negeri ini. Amien Ya Rabbal ‘Alamien.

C. BAHAYA TAKATSUR

“Telah melalaikan kamu perlombaan memperbanyak harta kekayaan, sampai kamu masuk ke dalam kubur. Janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui

akibatnya, dan janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui. Janganlah begitu, jika kamu mengetahui dengan pengetahuan yang yakin, niscaya kamu benar-benar akan melihat neraka jahim dan sesungguhnya kamu akan melihat benar-benar dengan ainul yaqin, kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang seluruh kenikmatan yang kamu rasakan.”

(QS. At-Takatsur/102:1-8)

Hidup di dunia memang tidak bisa dilepaskan dari yang namanya harta kekayaan atau materi. Karena dunia itu sendiri merupakan bentuk bendawi yang sifatnya konkrit dan mudah dilihat. Keberadaannya yang selalu lekat dan dekat dengan manusia bahkan meliputi seluruh badannya. Semuanya itu alam dunia yang fana dan sementara. Uang yang ada di kantong, baju yang dipakai, perhiasan yang melingkar di tangan, mobil yang berderet di gerasi, semuanya menghiasi kehidupan manusia di dunia ini. Hal itu telah disinyalir Allah SWT dalam firman-Nya: “Telah dihiaskan kepada manusia suka pada pemuasan syahwat yang berupa perempuan dan anak-anak serta menimbun harta, baik emas dan perak dan kendaraan yang mewah dan hewan ternak serta kebun-kebun kurma, itu semua kesenangan hidup dunia dan di sisi Allah-lah sebaik-baiknya tempat kembali.” (QS. Ali Imran:14)

Kecenderungan akan pemuasan dunia adalah merupakan insting yang sifatnya manusiawi sebagaimana penegasan ayat di atas. Karena pengertian dunia itu sendiri berasal dari kata “danaa” yang artinya rendah dan hina, dekat dengan manusia, namun rendah jika manusia telah diperbudak olehnya. Sebagaimana perumpamaan Rasulullah SAW, suatu hari beliau berjalan sekitar pasar, di sana ia melihat bangkai kambing yang telinganya cacat, maka Rasulullah SAW mengangkat telinganya dan berkata: “Siapakah di antara kalian yang ingin membeli ini dengan satu dirham ?” Mereka menjawab: “Tidak akan ada orang yang suka membelinya dan buat apa ? ”Nabi bertanya lagi: “Sukakah bila diberikan kepadamu cuma-cuma ?” Jawab mereka: “Demi Allah, andaikan ia masih hidup, iapun cacat, apalagi ia sudah menjadi bangkai.” Maka Rasulullah SAW berkata: “Demi Allah, sungguh dunia ini lebih hina dalam pandangan Allah SWT daripada bangkai ini bagi kalian semua.” (HR. Muslim dari Jabir RA)

Perumpamaan ini amat menyadarkan mereka yang selama ini memandang dunia di atas segalanya dan melebihi batas sehingga lupa diri, akibatnya mereka menjadi materialistis yang berpandangan “takatsurisme” atau menimbun harta dan bermegah-megah sampai melupakan hakikat dirinya diciptakan untuk beribadah kepada Allah SWT. Namun, bukan berarti dunia tidak boleh dicari atau dimiliki oleh manusia, karena itu sudah merupakan sifat manusia yang telah ada sejak diciptakan ke dunia. Yang harus diperhatikan adalah jangan sampai harta duniawi itu melalaikan dan memperdaya dirinya. Sebagaimana firman Allah SWT: “Hai sekalian manusia, sungguh janji Allah itu benar, maka janganlah kamu terpedaya oleh kehidupan dunia ini dan janganlah kamu tertipu oleh suatu penipuan sehingga terlupa kepada Allah.” (QS. Luqman:33)

Peringatan Allah SWT ini menekankan kehati-hatian manusia akan bahaya duniawi apabila tidak dilandasi oleh iman kepada Allah SWT. Karenanya, sebelum berniat menguasai duniawi, ingatlah akan godaan yang sangat berat, mampukah kita menanggungnya ?, karena ternyata takatsurisme ini biasanya selalu melalaikan manusia selama hayat dikandung badan. Dan yang dapat mengingatkannya hanyalah kematian. Demikian pula setelah memiliki harta dengan niat yang baik, maka masalah selanjutnya ialah untuk apa harta tersebut ? Kemana akan digunakan? Rasulullah SAW mengingatkan;

“Celaka dan merugilah hamba dinar atau dirham, atau yang diperbudak kekayaan, kemewahan atau perhiasan, jika diberi ia senang dan jika tidak diberi, mereka tidak senang.” (HR. Al-Bukhari dari Abu Hurairah RA)

“Kalaulah anak Adam (yaitu manusia) telah diberikan satu lembah yang penuh dengan emas, pastilah ia menginginkan lembah seperti itu yang keduanya, bila diberi yang kedua itu, pastilah ia menginginkan yang ketiganya. Perut manusia tidak akan ada kenyangnya kecuali dengan tanah (dikubur), tetapi Allah menerima taubat siapa yang bertaubat. (H.R. Bukhari)

Maka, selayaknya kita menyadari, bahwa harta tersebut bukan untuk kesenangan dan kemegahan belaka, tetapi sejauh mana kita menggunakannya di jalan Allah SWT. Harta bisa menjadi penghalang panasnya api neraka dan dinding yang memisahkan dua tempat berbeda yang kekal. Sabda Rasulullah SAW: “Tiga perkara yang mengikuti mayat, (1) keluarganya, (2) harta kekayaannya, dan (3) amal perbuatannya, maka dua perkara kembali yaitu keluarga dan kekayaannya, tinggallah amal perbuatan yang akan tetap menemaninya.” (HR. Al-Bukhari & Muslim dari Anas RA)

Jadi jelas bahwa penggunaan harta kekayaan duniawi akan dipertanyakan di Akhirat kelak, dari mana dia dapatkan ? dan kemana dia gunakan ? Maka yang paling beruntung ialah mereka yang menggunakan hartanya di jalan Allah SWT, baik dengan shadaqah, zakat maupun infaq fi sabilillah. Janji Allah SWT; “Sesungguhnya orang yang selalu membaca kitab Allah dan mendirikan shalat dan menafkahkan sebagian hartanya dari rizqi yang Kami anugerahkan kepada mereka dengan diam-diam atau terang-terangan, mereka itu mengharapkan perhitungan yang tidak akan merugi.”( QS. Fathir:29)

Banyak sekali suri teladan para shahabat yang berjiwa dermawan, misalnya Utsman Bin Affan seorang saudagar namun tetap menafkahkan hartanya di jalan Allah SWT atau Abu Bakar Ash-Shiddiq yang menyerahkan seluruh miliknya untuk Allah dan Rasul-Nya. Demikian juga Rasulullah SAW. Abu Dzar RA pernah mengisahkan: “Ketika saya berjalan bersama Nabi SAW di jalan kota Madinah, kami menghadap Uhud, maka Nabi SAW berkata; “Saya tidak senang kalau umpamanya saya memiliki emas sebesar bukit Uhud ini, kemudian kutimbun sampai tiga hari walau sedinar, kecuali hanya untuk membayar hutang atau untuk saya bagi-bagikan kepada hamba Allah ke kanan kiri, ke depan dan belakang.” Kemudian Nabi SAW berjalan sedikit dan bersabda: “Ingatlah, orang yang banyak harta itu akan sedikit pahalanya di Akhirat kecuali yang mengeluarkan hartanya ke kanan kiri, ke depan ke belakang, tetapi sayang, sedikit sekali orang yang demikian.” (HR. Al-Bukhari & Muslim)

Hadits ini menjelaskan kekhawatiran Rasulullah SAW apabila manusia sudah terbuai oleh harta kekayaannya. Memang adapula orang yang mampu menggunakan harta yang melimpah ruah tersebut di jalan Allah sehingga terhindar dari bahaya takatsurisme tadi, tetapi kata Rasulullah SAW jumlah mereka sangatlah sedikit. Umumnya, jika manusia telah menguasai harta dan menjadi kaya raya, mereka lupa diri dan lalai akan perintah Allah SWT.

Al-Quran surat at-Takatsur di atas merupakan khabar Insya’i yang menuntut kesadaran kita dari harta yang melalaikan. Suatu hari Abdullah Bin Asy-Syiskhir RA datang kepada Nabi SAW ketika beliau membaca “alhakumuttakatsur..” kemudian Rasulullah SAW bersabda: “Bani Adam akan berkata: “Hartaku, hartaku”, “Apakah bagianmu dari hartamu selain yang kamu makan sampai habis dan kamu pakai sampai rusak atau kamu sedekahkan dan tetap menjadi simpananmu atau tersimpan untukmu.” (HR. Muslim)

Kerudungku Bagus Ramadhan

Kerudungku Bagus Ramadhan