Percetakan - Distributor - Agency - Buku Islam - Sepatu Cibaduyut - Rokok Herbal - Sabun Sirih Terapi Kesehatan Herbal - Aquarium - Marketing Penerbit Ash-Shiddiq Press - Bisnis Ekonomi Islam - Menjalin Kerjasama Bisnis Peminat Serius Kontak e-mail: iipguru@yahoo.com atau Chatting di My Facebook atau Tinggalkan Pesan di Box IKLAN/ORDER BISNIS

KERJA SAMA BISNIS

ASHTRO BISNIS melayani kerjasama saling menguntungkan dengan cara-cara sesuai dengan Syari'at Islam.
Informasi : 081 22 100 2536

@SHTRO ROKOK HERBAL

MARKETING BANDUNG

Selasa, Agustus 04, 2009

ZAKAT PERDAGANGAN

Permasalahan zakat sudah banyak disinggung dalam buku dan kitab fiqh Islam. Urgensi dan keutamaannya-pun sudah banyak diketahui kaum muslimin. Sangat disayangkan sosialisasi pada tataran teknis banyak umat islam yang belum mengetahui secara rinci bagaimana pola Rasulullah SAW dan para shahabatnya menangani perzakatan ini. Ironisnya lagi, tidak sedikit kaum muslimin yang mengelak dari kewajiban menunaikan zakat. Padahal para penolak zakat sangat dikecam sebagaimana pada masa Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq mereka dipandang sebagai pemberontak (bughat) yang harus diperangi. Mengapa Abu Bakar sangat tegas dalam pelaksanaan syari’at zakat ini ? Karena kewajiban zakat dalam Islam setara dengan kewajiban shalat. Tapi mengapa ketika kita menyaksikan orang yang sudah terkena kewajiban zakat tidak berzakat dibiarkan begitu saja, tidak seperti ketika kita melihat yang meninggalkan shalat ?! Maka risalah ringkas ini setidaknya menjadi bahan renungan sesama muslim dalam hukum zakat barang perdagangan, agar harta keuntungan umat Islam semakin berkah dan mendatangkan kesejahteraan lahir dan bathin.

Hukum Perdagangan dalam Perundang-undangan
Hukum dagang dalam fiqh Islam termasuk dalam mu’amalah maliyah atau hukum yang mengatur hubungan manusia dalam masalah harta dan kekayaan.
Hukum dagang dalam perundang-undangan umum modern adalah bagian dari hukum privat, atau merupakan jenis khusus dari hukum perdata. (Kode Etik Dagang menurut Islam, 18-20)
Pada masa Rasulullah SAW dan Khulafaurrasyidun diantaranya Khalifah Umar Bin Khattab, undang-undang perniagaan diatur berdasarkan syari’at Islam dan para qadli yang diangkat di setiap daerah mempunyai kewenangan menerapkan dan mengawasi jalannya undang-undang perniagaan tersebut. Khalifah Umar disamping menjadi kepala Negara juga bertanggung jawab penuh atas terlaksananya syari’at Islam pada tataran masyarakat bawah diantaranya dengan selalu memantau pola kehidupan masyarakat termasuk dalam masalah perniagaan. Kisah yang paling popular ialah ketika beliau berkeliling ke pelosok negeri dan bertemu dengan gadis penjual susu yang jujur dan tidak mau mencampurnya dengan air agar mendapat keuntungan lebih dengan cara yang bertentangan dengan syari’at Islam. Dalam sebuah hadits-pun disebutkan; Dari Jiyad bin Hudair ra berkata : “Umar mempekerjakanku atas sepersepuluh. Dan memerintahkanku agar aku mengambil dari pedagang-pedagang muslim dua setengah persen.” (HR. Abu Ubaid al-Qasimy Ibnu Salam dari Kitabul Amwal:640)
Dikisahkan bahwa Rasulullah SAW pernah mengirim petugas pemungut zakat kepada Khalid Bin Walid yang pernah berdagang perkakas perang. Khalid tidak mengeluarkan zakatnya, sehingga pemungut zakat tadi mengadu kepada Rasulullah SAW, maka beliau bersabda: “…Adapun Khalid, kalian telah menganiayanya. Sesungguhnya ia telah mewaqafkan baju-baju besinya dan peralatan perangnya di jalan Allah.” (HSR. Muslim)
Hadits ini menunjukkan bahwa masalah peniagaan dan segala hal yang berhubungan dengan ibadah mu’amalah termasuk juga masalah pengelolaan zakat ditangani oleh Negara dan institusi kenegaraan. Namun tidak berarti ketika Negara tidak menangani perzakatan ini, kewajiban zakat tijaroh terhapus dan tidak dilaksanakan. Karena sebagaimana sebelumnya disinggung bahwa hukum perdagangan termasuk hukum perdata yang setingkat dengan hukum waris, nikah dan sejenisnya, maka selayaknya umat Islam tetap memperhatikan hukum perdagangan sesuai dengan syari’at Islam sambil tetap mengupayakan agar hukum Islam menyangkut perdagangan dan perzakatan masuk pada perundang-undangan Negara. Karena hanya dengan syari’at Islam, harta umat Islam menjadi berkah dan menjadi kebajikan.

Makna Tijaroh (Perdagangan)
Tijaroh sebagaimana yang telah didefinisikan oleh pada fuqaha ialah pengusahaan harta benda dengan penggantian harta benda yang lain. (Raddul Mukhtar, 18:2)
Barang tijaroh ialah apa yang disiapkan untuk usaha dengan jalan jual beli.
Sebagian mendefinisikan : apa yang disiapkan untuk jual beli dengan tujuan mendapat keuntungan. (Mathalib Ulin Nahyi, 96:2)
Suatu barang milik dikatagorikan sebagai tijaroh jika terdapat dua unsur yang tidak terpisah
1. terjadi transaksi jual beli
2. niat untuk mendapatkan keuntungan

Barang yang wajib zakat tijaroh
1. MA NU’IDDU LIL BAI’ : apapun yang disiapkan untuk dijual
2. AL-BAZZU : jenis kain (pakaian), perlengkapan rumah seperti pakaian, furniture, peralatan dan sebagainya.

Dalil-dalil tentang tijaroh
1. “Apabila telah selesai shalat, maka hendaklah kalian bertebaran di muka bumi dan carilah karunia Allah, dan sebutlah Allah sebanyak-banyaknya supaya kalian memperoleh keberuntungan. (QS. 62:10)
2. “Sesungguhnya Kami telah menempatkan kalian di bumi, dan Kami adakan bagi kalian di atasnya (sumber-sumber) penghidupan. (QS.7:10)
3. “Saling tolong menolonglah kalian dalam kebaikan dan taqwa, dan janganlah kalian saling menolong dalam perbuatan dosa dsan permusuhan.” (QS. 5:2)
4. Rasulullah SAW bersabda : “ “Sesungguhnya Allah suka melihat hamba-Nya berusaha dalam mencari yang halal.” (HR. Ath-Thabrany dan Dailami dari Ali Bin Abi Thalib)
5. Diriwayatkan bahwa Umar bin Khattab setelah selesai shalat menjumpai sekelompok orang yang larut dan duduk bertafakur di dalam masjid dengan alas an tawakkal kepada Allah, sertamerta beliau memperingatkan : “Janganlah sekali-kali di antara kalian ada yang duduk-duduk enggan mencari rizki dan (hanya) berdo’a: Ya Allah limpahkanlah rizki kepadaku!” Padahal ia telah mengetahui bahwa langit tidak menurunkan hujan emas dan perak.

Kewajiban zakat tijaroh
1. QS. Al-Baqarah :

Mujahid berkata : “ayat ini turun berkenaan dengan tijaroh (perdagangan).
2. Dari Samrah Bin Jundab ra berkata : “Adalah Rasulullah SAW memerintahkan kami untuk mengeluarkan shadaqah (zakat) dari sesuatu yang kami persiapkan untuk dijual.” HR. Abu Dawud, pada sanadnya lemah karena ada rawi Salman Bin Samrah majhul. Ad-Daruquthny dan al-Bazzar juga meriwayatkan hadits ini. Ibnu Abdil Bar memandang hasan sebagaimana dalam Nasburrayah, 2:376)
3. Rasulullah SAW bersabda: “dalam unta ada zakatnya, dalam sapi ada zakatnya, dalam pakaian ada zakatnya.” (HR. Al-Hakim. Ad-Daruquthny dan al-Baihaqy menganggap kuat)

Ibnu Al-Mundzir berkata : “Telah ijma’ tentang kewajiban zakat pada barang dagangan.” Fuqaha yang tujuh telah berpendapat tentang kewajibannya walaupun mereka menyatakan jangan mengkafirkan orang yang mengingkarinya, karena ada perbedaan pendapat tentang hal itu. (Subulussalam II:136)

Adakah Nishab & Haul pada zakat tijaroh ?
Nishab adalah batas minimal harta benda atau nilai untuk dikeluarkan zakatnya.
Haul ialah harta benda atau nilai yang telah dimiliki selama satu tahun Qamariyah.
Berdasarkan hadits hadits di atas, pada zakat tijaroh nishabnya ialah MAA NU’IDDU LIL BAI’ artinya apapun dan atau berapapun nilai barangnya yang dipersiapkan untuk dijual, terkena kewajiban zakat tijaroh.
Adapun tentang haul, karena nishabnya muthlaq (tidak terikat) maka sebelum atau sesudah haulpun boleh dilakukan perhitungan zakatnya. Namun bagi para pedagang untuk mempermudah pembukuan biasanya menggunakan haul ini. Kedua cara tersebut pernah terjadi sebagaimana hadits di bawah ini :
Rasulullah SAW bersabda : Tidak ada (kewajiban) zakat harta sehingga sampai haul (satu tahun Qamariyah)
Telah berkata Ali : “Sesungguhnya Abbas bin Abdul Muthalib telah meminta kepada Nabi SAW untuk mengeluarkan zakatnya sebelum sampai waktunya, maka Nabi SAW mengizinkan hal itu.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, At-Tirmidzi, Ibnu Majah dan yang lainnya) Diriwayatkan oleh Abu Dawud Ath-Thayalisy dari Abi Rafi’ bahwa Rasulullah SAW pernah meminjam dari Abbas zakat setahun di muka. Diriwayatkan oleh Ath-Thabrany dan Al-BAzzar dari Ibnu Mas’ud, bahwa Rasulullah SAW pernah meminjam dari Abbas zakat tahun yang dulu dan tahun ini.”

Besarnya zakat tijaroh
Hadits yang menyebutkan dengan sharih (jelas) kadar besarnya zakat tijaroh tidak ada. Khalifah Umar bin Khattab dan Khalifah Umar Bin Abdul Aziz menerapkan ketentuan 2,5 % untuk zakat tijaroh ini. Karenanya kita berpedoman kepada atsar Khulafaurrasyidun dalam ketentuan besarnya kewajiban zakat tijaroh ini.

Mustahiq Zakat Tijaroh
Mustahiq zakat tijaroh adalah 8 ashnaf yang tercantum dalam QS. At-Taubah : 60. Adapun prioritas mustahiq ialah karib kerabat atau keluarga terdekat si muzakki berdasarkan al-Qur’an dan hadits

Teknis penghitungan zakat tijaroh
1. Anggaran zakat di muka (sebelum haul atau pada haul)
Pada bulan Ramadhan 1420 H, seorang pedagang buah-buahan memulai usaha dengan membeli peralatan yang mendukung usahanya seperti gerobak seharga Rp. 500.000,-, biaya iklan dan publikasi perusahaannya Rp. 100.000,- dan biaya operasional (transportasi, kantong/pengemasan, dll.) Rp. 200.000,-. Kemudian membeli buah-buahan dari glosir perkilo seharga Rp. 10.000,- sebanyak 100 kg. dengan harga Rp. 1.000.000,-. Seminggu kemudian ia berbelanja lagi sebanyak 100 kg. = Rp. 1.000.000,- dengan menggunakan uang hasil penjualan Rp. 500.000,- dan tambahan pinjaman modal Rp. 500.000,-. Biaya transport Rp. 100.000,-. Bulan berikutnya ia mulai menghitung zakatnya sebagai kewajiban seorang muslim. Maka cara perhitungannya sebagai berikut :
a. Modal
Modal keseluruhan terdiri dari
- Pembelian gerobak Rp. 500.000,-
- Biaya iklan Rp. 100.000,-
- Biaya operasional Rp. 200.000,-
- Pembelian buah-buahan I Rp. 1.000.000,-
- Pembelian buah-buahan II Rp. 1.000.000,-
- Transport II Rp. 100.000,-
Jumlah : Rp. 2.900.000,-
Berdasarkan hadits MA NU’IDDU LIL BAI’ maka yang termasuk modal yang wajib dikeluarkan zakatnya ialah jenis barang yang dijual yaitu buah-buahan dan kemasannya serta biaya yang berhubungan langsung dengan proses sampai siap jualnya barang tersebut. Maka yang temasuk modal hanya :
- Biaya iklan Rp. 100.000,-
- Biaya operasional Rp. 200.000,-
- Pembelian buah-buahan I Rp. 1.000.000,-
- Pembelian buah-buahan II Rp. 1.000.000,-
- Transport II Rp. 100.000,-
Jumlah : Rp. 2.400.000,-
Sehingga kewajiban zakat tijarohnya adalah 2,5 % dari Rp. 2.400.000,- = Rp. 60.000,-
Biaya pembelian gerobak tidak termasuk pada perhitungan modal yang terkena zakat tijaroh karena ia tidak dijual, sama dengan nilai sewa tempat, sukatan dan fasilitas yang tetap. Namun tetap ia terkena kewajiban zakat mal (zakat harta simpanan) jika sudah nishab yang sudah ada ketentuannya. Harus dibedakan antara gerobak dengan sewa gerobak. Jika sewa gerobak maka itu termasuk biaya operasional dan dimasukkan sebagai modal yang harus dizakati.
Jika ia akan menjual gerobaknya, maka zakat tijarohnya dilaksanakan setelah gerobak itu terjual dengan perhitungan modal dari standar harga gerobak bekas yang sejenis.
Adapun perhitungan dengan haul sama saja, hanya waktu perhitungannya dilakukan pada akhir tahun yaitu pada contoh ini pada Ramadhan 1421 H. Karenanya pedagang yang akan memakai metoda haul ini harus mencatat segala modal yang telah disiapkan untuk dijual sejak ia memulai usahanya.
2. Zakat tijaroh dari barang pribadi yang kemudian dijual
Misalnya, pada bulan Ramadhan 1420 H seseorang membeli mobil dengan niat untuk dipakai seharga Rp. 100.000.000,-. Setelah enam bulan mobil tersebut dijual seharga 90.000.000,- Maka, ia wajib mengeluarkan zakat tijarohnya 2,5 % dari standar harga barang second (bekas) atau dari total harganya, karena sudah termasuk MAA NU’IDDU LIL BAI’ yaitu ketika ia berniat menjualnya dan setelah terjadi transaksi.
Ada yang berpendapat bahwa yang wajib zakat tijaroh itu adalah pedagang sebagai profesinya, maka jika yang bukan pedagang tidak terkena kewajiban zakat tijaroh.
Hal ini telah menjadi perbincangan para ulama dan hal ini berkaitan dengan niat menjual. Makna MA NU’IDDU LIL BAI’ diartikan sebagai ia membeli dengan niat untuk dijual. Padahal dalam hadits ini tidak disinggung sumber atau cara kepemilikan barang untuk dijual tersebut. Salah satu bantahan pada mereka yang berpandangan seperti ini ialah:
- Asal harta milik adalah barang qaniyyah (untuk digunakan) bukan tijaroh (untuk perdagangan). Tijaroh adalah far’u (cabang). Sebagaimana muqim adalah asal dan safar adalah far’u. Ketika ia berniat untuk safar, ia tetap dipandang muqim sampai ia berangkat, baru dipandang safar. Maka barang yang niatnya sebagai qaniyah tidak dipandang sebagai tijaroh sampai terjadi penjualan (transaksi). Demikian pula, jika niatnya untuk dijual namun kemudian dipakai atau tidak dijual, maka tidak termasuk tijaroh.
Adapun jika melibatkan seorang simsar (calo) dalam penjualannya, maka kalau harganya sesuai dengan permintaan si pemilik, ia tidak terkena kewajiban zakat tijaroh. Namun jika simsar tersebut menentukan harga, misalnya si pemilik berkata : “Juallah mobil ini berapapun harganya, harga dari saya sekian…” Maka ia terkena kewajiban zakat tijaroh dengan perhitungan jumlah modal yang ditentukan oleh si pemilik. Karena hakekatnya ia telah membeli mobil tersebut dengan pembayaran ditangguhkan.

Penjualan yang keuntungannya kurang dari 2,5 %,
Wajibkan zakat ?
Kewajiban zakat bukan dilihat dari hasil keuntungannya, tetapi dari modal barang yang siap jual. Maka, penjual barang tetap terkena kewajiban zakat walaupun keuntungannya kurang dari 2,5 %, karena yang dikeluarkan untuk zakat tersebut sesungguhnya sudah ada dalam nilai modal yang dimiliki. Misalnya seorang pedagang beras bermodalkan Rp. 100.000,- dengan keuntungan (biasanya 1%) Rp. 1.000,- sedangkan zakat yang harus dikeluarkan Rp. 2.500,-. Memang jika dihitung dari keuntungan berarti kerugiannya Rp. 1.500,-, tapi jika dihitung dari modal, keuntungannya tetap Rp. 1.000,- dan tidak ada kerugian, karena ketika seorang muslim melaksanakan infaq shadaqah dan zakat, hakekatnya ia bukan mengurangi hartanya, tetapi justeru bertambah dan berkembang, baik materi maupun nilai keberkahannya.

Tidak ada komentar:

Kerudungku Bagus Ramadhan

Kerudungku Bagus Ramadhan